Yayasan Islam Al-Hamidiyah
Dakwah
Home / Dakwah

5 Niat yang Tidak Benar dalam Mencari Ilmu menurut Al-Ghazali

Senin, 28 Maret 2022 Oleh Kajis 6315 kali

DEPOK – Untuk kedua kalinya Pesantren Al-Hamidiyah Depok menggelar Kajian Kitab dengan tema Ngasuh” atau Ngaji Bersama Pengasuh yakni, Prof. Dr. K.H. Oman Fathurahman, M.Hum (Kamis, 17/03/22). Kitab yang dikaji berjudul Bidayatul Hidayah karya al-Ghazali sekaligus syarah atau kitab komentarnya Maraqil ‘Ubudiyah karangan Syekh Nawawi al-Jawi al-Bantani.

 

Pada kajian kedua ini, setelah pembahasan Mukadimmah di kajian pertama, teks pengajian kitab sudah memasuki pembahasan pertama. Imam Al-Ghazali memberikan peringatan kepada para penuntut ilmu. “Yang pertama diingatkan oleh Al-Ghazali,” tutur Kiai Oman, “Kalau engkau niat belajar atau mengaji, jangan untuk al-munafasah atau berkompetisi.” Beliau mencontohkan, mengaji dengan niat ingin menonjol dari yang lain, supaya gengsinya tidak turun, agar dianggap mahir, kalau mengaji nanti dianggap orang lain bisa, meski di hati itu sebenarnya sudah disebut al-munafasah.  

 

“Yang kedua, niat mencari ilmu atau masuk pesantren tidak untuk al-mubahata yakni membanggakan diri. Al-iftikhar, sombong, berbangga diri merasa besar, merasa pintar,” ungkap Kiai Oman. Yang dimaksud di antaranya, merasa besar diri karena telah belajar ilmu agama. Atau sebaliknya, sombong karena menguasai ilmu umum.

“Ketiga, at-taqaddum, lebih unggul daripada yang lain, kolega. Pokoknya, enggak boleh temen lebih maju,” tutur Guru Besar Filologi Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta itu. Beliau mencontohkan, seorang guru atau karyawan yang tersaingi oleh juniornya. Ia lalu mengejar ketertinggalan tapi niatnya untuk al-taqaddum maka itu tidak benar.

 

“Keempat, al-Istimalata wujuhin nas supaya orang lain cenderung mendukung, menghormati, atau tampak lebih berwibawa,” lanjut Kiai Oman, “Kelima, bermaksud menghimpun kemuliaan duniawi. Niat menuntut ilmu yang salah, menurut Al-Ghazali seperti dengan memiliki ilmu maka kapasitas naik, lalu kemudian jabatan naik, hingga akhirnya gaji naik, ini niat harus dihindari. “Apakah menambah kekayaan duniawi itu dilarang?”tanya Kiai Oman, “Tidak, tapi hatinya yang diatur oleh al-Ghazali, pada bab kemudian akan dibahas”. Seperti diketahui, kekayaan duniawi bersifat fana belaka. Artinya yang fana itu tidak dibawa mati.

 

Kiai Oman mengisahkan bahwa dirinya pernah menghadiri penguburan sesosok jenazah yang sebenarnya memiliki posisi penting saat hidupnya. Tetapi ketika wafat, masuk ke liang kubur, tidak satu pun hartanya dibawa kecuali kain kafan. Saat si mayit ditimbun tanah pun, kuburannya diinjak-injak oleh penggali kubur, padahal semasa hidupnya ia terhormat sekali. “Ketika kita menuntut ilmu tapi meniatkan salah satu dari lima hal tadi, maka diibaratkan transaksi kita rugi, bisnis kita rusak, tidak ada kebaikannya, ini menurut perspektif spiritual. Ini kan ngaji kitab Bidayah, jadi soal manajemen qalbu,” pungkas Kiai Oman.

 

Acara yang dimoderatori Ustadz Syifa itu kemudian akhiri dengan tanya jawab. Para peserta menunjukkan antusiasnya, ada yang bertanya melalui chaat dan secara langsung. Ke depan, Pesantren Al-Hamidiyah berharap ngaji semacam ini bisa istiqamah dan diikuti oleh banyak guru, ustadz, karyawan di lingkungan Yayasan Islam Al-Hamidiyah.  

 

Redaktur: Atunk   


 

Komentar

1000 Karakter Tersisa


0 Komentar


Belum ada komentar